Penjaga Sungai yang Konsisten Membersihkan Sampah Selama 20 Tahun

Di sebuah desa terpencil di pinggir Sungai Citanduy, hidup seorang anak bernama Aldi Ramadhan. Usianya baru 13 tahun, tubuhnya kurus, kulitnya gelap terbakar matahari, dan setiap harinya ia menyusuri bantaran sungai, bukan untuk bermain air seperti anak-anak lain, melainkan untuk memunguti sampah plastik.

Pekerjaan itu bukan hobinya. mg4d Itu adalah realitas. Ibunya sudah lama tiada karena demam berdarah. Ayahnya mengalami kelumpuhan separuh badan setelah kecelakaan kerja. Sejak usia 9 tahun, Aldi telah mengambil tanggung jawab yang tak seharusnya dipikul anak seusianya: menjadi tulang punggung keluarga.

Mengharukan: Tugas Berat Anak Kecil

Setiap pagi buta, sebelum matahari menyentuh permukaan sungai, Aldi akan membawa karung goni dan tongkat panjang yang ujungnya dililit kawat. Ia mencari botol plastik, kemasan mie instan, dan kaleng minuman ringan yang tersangkut di ranting atau mengambang di air keruh.

“Kalau lagi beruntung, bisa dapat 2 kilogram plastik. Itu cukup buat beli beras dan obat untuk Bapak,” katanya, sembari tersenyum lirih.

Tapi tak selalu beruntung. Kadang ia pulang hanya membawa satu botol kosong, basah, dan tak berharga di mata orang lain. Namun bagi Aldi, satu botol bisa berarti satu suap nasi.

Di usia saat anak-anak lain belajar daring dengan tablet atau bermain game di warnet, Aldi memilih bertahan. Tapi ia tak pernah mengeluh. Justru, ia sering berkata, “Aku ingin sekolah, supaya bisa bantu sungai ini bersih.”

Menggugah: Perubahan Dimulai dari Keberanian Kecil

Hingga suatu hari, saat sedang mencari sampah di sekitar tikungan sungai, ia melihat seekor burung bangau terlilit plastik. Burung itu berjuang terbang, tapi gagal. Ia mendekat, melepaskan plastik dari leher burung itu, dan menyadari satu hal: “Sampah ini bukan cuma nyusahin manusia, tapi juga makhluk lain.”

Sejak itu, Aldi tak lagi sekadar memungut sampah untuk dijual. Ia mulai memilah, menyortir, dan membersihkan sampah sebelum dijual. Ia juga menuliskan catatan kecil dari kertas bekas: “Tolong jangan buang sampah ke sungai. Sungai itu hidup.” Ia menempelkan catatan itu di tiang bambu dan dinding jembatan.

Warga sekitar awalnya menganggapnya aneh. Tapi ketika sungai di dekat rumah Aldi menjadi sedikit lebih bersih, airnya tak lagi berbau busuk, dan ikan-ikan kecil mulai terlihat berenang, orang-orang mulai memperhatikannya.

Lalu datanglah momen tak terduga.

Menghebohkan: Kisah Bocah Sungai Viral

Seorang mahasiswa KKN dari kota yang melihat Aldi sedang membersihkan sungai, merekam kegiatannya dan mengunggahnya ke media sosial. Dalam video itu, Aldi berkata, “Aku nggak minta disumbang, aku cuma minta bantu jangan buang sampah lagi. Sungai ini, rumahku juga.”

Video itu meledak. Ribuan komentar datang. Banyak orang menangis membaca kisahnya. Tagar #AnakSungaiCitanduy sempat jadi trending. Dalam dua minggu, kisah Aldi diliput media nasional. Banyak yang ingin berdonasi, memberikan uang, sepeda, bahkan tawaran beasiswa.

Tapi Aldi menolak banyak bantuan itu. “Saya mau sekolah, iya. Tapi saya juga ingin ngajak teman-teman bersihin sungai, bukan cuma terima sumbangan.”

Kata-katanya membuat banyak orang terdiam. Bocah 13 tahun ini tak meminta belas kasihan. Ia meminta kesadaran.

Menginspirasi: Gerakan dari Pinggir Sungai

Dengan bantuan guru honorer di desanya, Aldi membentuk kelompok kecil bernama “Sahabat Sungai”. Mereka adalah anak-anak seusia Aldi yang dulunya main layangan di tepi sungai. Sekarang, tiap minggu mereka punya jadwal membersihkan bantaran dan mengedukasi warga tentang pengolahan sampah.

Aldi membuat presentasi sederhana dari kardus bekas. Ia menjelaskan tentang bahaya mikroplastik, pencemaran air, dan efeknya ke tubuh manusia. Ia bukan lulusan sekolah tinggi, tapi pemahamannya tentang lingkungan lebih dalam dari kebanyakan orang dewasa.

“Kalau air sungai kotor, kita minum apa? Kalau ikannya mati, kita makan apa?” tanyanya pada satu pertemuan warga. Pertanyaan itu menghujam, karena berasal dari suara polos seorang anak.

Gerakan “Sahabat Sungai” mulai didukung perangkat desa. Pemerintah daerah pun ikut mendengar. Program bank sampah mulai dirintis. Warga mulai memilah sampah rumah tangga. Bahkan, ada lomba mural lingkungan di jembatan desa, dan salah satu mural bertuliskan: “Terima kasih, Aldi, penjaga sungai kami.”

Puncak Perjuangan: Sekolah dan Mimpi yang Terbuka

Berkat publikasi luas dan kegigihannya, Aldi akhirnya menerima beasiswa dari lembaga lingkungan internasional untuk bersekolah hingga SMA. Ia juga diundang menjadi pembicara termuda pada acara Hari Lingkungan Hidup Nasional.

Di panggung besar itu, di depan menteri, pegiat lingkungan, dan para profesional, Aldi naik dengan baju putih polos dan celana sobek di lutut. Tapi suaranya tegas: “Kalau anak kecil seperti saya saja bisa mulai dari satu sungai, orang dewasa pasti bisa lebih besar lagi.”

Pidatonya mendapat standing ovation.

Kini, selain sekolah, Aldi masih aktif dengan “Sahabat Sungai”, dan bercita-cita menjadi ahli lingkungan. Ia tak lagi harus mengais sampah untuk makan, tapi ia tetap memungut plastik yang hanyut, karena baginya, itu bukan pekerjaan, tapi panggilan.

Penutup: Dari Lumpur ke Panggung Dunia

Kisah Aldi adalah potret kekuatan harapan. Di tengah lumpur, lahir suara jernih yang menantang dunia untuk berubah. Ia mengajarkan bahwa perubahan tak perlu menunggu ijazah, usia, atau status sosial. Cukup satu hal: keberanian untuk peduli.

Dari anak pinggir sungai yang dikira “pemulung cilik,” kini Aldi menjelma menjadi simbol perjuangan lingkungan yang murni dan menyentuh.

Dan siapa sangka? Dari sungai kecil di Citanduy, suara seorang bocah mampu mengalir hingga ke hati seluruh Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *